Sahabat duna islam, pernahkah
menyisakan makanan di piring? Mungkin sebutir dua butir nasi yang
tersisa di piring banyak orang yang menganggapnya wajar untuk disisakan,
padahal Islam mengajarkan kita untuk menghargai makanan bahkan hingga
butir terakhir. Apakah kita sudah mengajarkan anak-anak kita untuk
menghabiskan makanan hingga piring bersih?
Dalam masalah makan perlu diperhatikan
adab-adabnya sebelum makan. Makan memiliki adab-adab yang banyak dan
telah dikenal, maka dalam pembahasan ini kami akan meringkaskan
adab-adab makan serta Mencari keberkahan Ketika Makan Menurut Rasulullah, yaitu:
Kesatu, Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau bersabda:
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau bersabda:
“فَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ، فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ عَلَيْهِ! يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ.”
“Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.”
Dan di antara yang menunjukkan atas
keberkahan dari berkumpul saat makan, adalah apa yang diriwayatkan dalam
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“طَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ.”
‘Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi untuk empat orang.’”
Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
“طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ،
وَالطَّعَامُ اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ، وَالطَّعَامُ
اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ.”
“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.”
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits
ini terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi dalam makanan,
sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit tetapi akan terasa cukup, dan
ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang hadir.”
Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits
tersebut kita dapat mengambil faedah, bahwasanya kecukupan itu hadir
dari keberkahan berkumpul saat makan dan bahwasanya semakin banyak
anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah berkahnya.”
Dengan demikian beberapa ulama
berpendapat, bahwa berkumpul saat makan adalah mustahab (disunnahkan)
dan janganlah seseorang makan seorang diri.
Kedua, Membaca Bismillah Saat Makan
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut Nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaitan tidak ikut makan bersama kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut Nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaitan tidak ikut makan bersama kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلٌّ الطَّعَامَ، إِلاَّ يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.”
“Sesungguhnya syaitan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan Nama Allah padanya.”
Imam an-Nawawi berkata: “Arti dari
mendapatkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut maksudnya bahwa
syaitan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya dengan
tanpa dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapun bila belum ada
seseorang yang memulai makan, maka (syaitan) tidak akan dapat
memakannya, jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka
menyebut Nama Allah sedangkan sebagian lannya tidak, maka syaitan pun
tidak akan dapat memakannya.”
Dan di antara yang disebutkan oleh
an-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya, yaitu
perkataannya: “Para ulama sepakat bahwa tasmiyyah saat makan di awalnya
adalah mustahab, [9] maka apabila ia meninggalkannya saat di awal makan
sengaja ataupun tidak sengaja, terpaksa atau tidak mampu karena sebab
tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka
disukai untuk bertasmiyyah dan mengucapkan:
“بِسْمِ اللهِ، أَوَّلُهُ وَآخِرُهُ.”
“Dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhir.”
Ketiga, Makan Dari Pinggir-Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ، فَكُلُوْا مِنْ حَافِيَتِهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ!”
‘Keberkahan tersebut akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-pinggirnya dan jangan dari tengahnya!”
Dan dari ‘Abdullah bin Busr,
Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebuah piring, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“كُلُوْا مِنْ جَوَانِبِهَا، وَدَعُوْا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا.”
“Makanlah dari pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya (niscaya) akan diberkahi padanya.”
Dari dua hadits di atas dan yang
semisalnya, terdapat petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi
kaum Muslimin ketika makan, yaitu bahwa memulainya dari pinggir-pinggir
piring agar berkah yang ada di tengah makanan tersebut tetap ada, dan
hendaknya tidak memulai makan dari tengah piring hingga selesai makan
yang di pinggirnya terlebih dahulu, adab ini adalah bersifat umum, baik
bagi yang makan sendiri maupun yang makan bersama-sama.
Keempat, Menjilat Jari-Jari Setelah Makan, Menjilat Piring Dan Memakan Makanan Yang Terjatuh
Dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat jari-jarinya yang tiga, beliau bersabda:
Dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat jari-jarinya yang tiga, beliau bersabda:
“إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى، وَلْيَأْكُلْهَا، وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ!”
“Apabila makanan salah seorang dari
kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran darinya, kotoran lalu makanlah
dan janganlah membiarkannya untuk dimakan oleh syaitan!”
Dan beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), beliau bersabda:
“فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ.”
“Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada.”
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْعَقْ أَصَابَعَهُ، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيَّتِهِنَّ الْبَرَكَةُ.”
“Apabila seseorang diantara kalian
makan maka jilatlah jari-jarinya karena ia tidak mengetahui di bagian
jari yang manakah keberkahan itu berada.”
Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
“وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيْلِ، حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ!”
“Dan janganlah ia memersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat jari-jemarinya.”
Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.
Hadits-hadits tersebut mengandung
beberapa jenis Sunnah dalam makan yaitu, di antaranya anjuran menjilat
jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan dan sekaligus
membersihkannya, juga anjuran menjilat piring dan makan makanan yang
terjatuh setelah membersihkannya dari kotoran yang ada.
Al-Khithabi berkata ketika menjelaskan
kepada orang-orang yang memandang aib menjilat jari-jemari dan yang
lainnya: “Banyak dari orang-orang yang hidupnya selalu bersenang-senang
dan bermewah-mewah menganggap bahwa menjilat jari adalah hal yang sangat
buruk dan jorok, seolah-olah mereka belum mengetahui bahwa apa yang
menempel atau tersisa pada jari-jari dan piring adalah bagian dari
keseluruhan makanan yang ia makan, maka apabila seluruh makanan yang ia
makan adalah tidak jorok dan tidak buruk, sudah barang tentu makanan
yang tersisa tersebut (bagian dari seluruh makanannya) adalah tidak
buruk dan tidak jorok pula.”
Maka, perhatikanlah bahwa adab-adab dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mengandung anjuran untuk
memperoleh keberkahan makanan dan mendapatkannya, seperti juga padanya
terdapat penjagaan terhadap makanan agar tidak hilang percuma, yang
membantu pada penghematan harta dan pemakaiannya tanpa mubazir.
Kelima, Keberkahan Pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan padanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terdapat suatu riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib [24] Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan padanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terdapat suatu riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib [24] Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
“كِيْلُوْا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ.”
“Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi.”
Menakar hukumnya adalah disunnahkan pada
apa yang dikeluarkan seseorang bagi keluarganya. Makna hadits tersebut
adalah keluarkanlah makanan tersebut dengan takaran yang diketahui yang
akan habis pada waktu yang telah ditentukan. Dan padanya terdapat
keberkahan yang Allah berikan pada mud (ukuran dari jenis takaran-pent)
masyarakat Madinah, karena do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rahasia dalam takaran tersebut adalah
karena dengannya ia dapat mengetahui seberapa banyak yang ia butuhkan
dan yang harus ia siapkan. Dan hadits-hadits lain yang semisalnya,
sesungguhnya telah saya jawab hal tersebut dengan beberapa jawaban, di
antaranya adalah:
Pertama, bahwasanya, maksud dari hadits
al-Miqdam adalah, menakar makanan ketika akan mengeluarkan nafkah
darinya dengan syarat ada sisa yang tidak diketahui takarannya, maka
keberkahan adalah lebih banyak terdapat pada hal yang belum diketahui
dan samar-samar tersebut dan menakar apa yang akan dikeluarkan tersebut
adalah, agar tidak mengeluarkan lebih dari kebutuhan atau pun kurang
darinya.
Kedua, kemungkinan maksud dari hadits,
“Takarlah makanan kalian” adalah, jika kalian menyimpannya dengan
harapan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keyakinan akan
dikabulkannya, maka siapa yang menakar setelah itu, maka ia adalah
menakar untuk mengetahui ukurannya, dan hal itu merupakan keragu-raguan
pada terkabulnya harapannya, maka ia dibalas dengan cepat habisnya
makanan tersebut.
Ketiga, bahwasanya menakar makanan
adalah dibutuhkan hanya pada saat jual beli, maka keberkahan pun akan
ada, dengan cara menakar tersebut, demi merealisasikan perintah agama,
dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mungkin saja bermaksud pada
menakar yang hanya untuk menguji saja, oleh karena itu terjadilah
kekurangan, ada juga yang mengatakan selain dari pendapat ini.
Menurut pendapat saya yang paling dekat
dengan kebenaran dari jawaban tersebut adalah yang pertama, karena
menakar makanan dan mengetahui takarannya ketika hendak memakainya,
untuk mengambil darinya jumlah yang sesuai dengan kebutuhan adalah
menghalangi dari sifat-sifat berlebih-lebihan dan membuang-buang harta
(mubazir), cara ini adalah termasuk cara untuk memperbanyak makanan,
sebagaimana juga dengan menakar makanan akan mencegah dari penghematan
berlebihan yang merugikan.
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu
wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang
Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
0 comments:
Post a Comment